Cerita Masa Kecil; Mimpi Bocah Desa

Aku dulu tak pernah bermimpi bisa sampai disini. Kota ini. Megapolitan dengan junjungan puluhan pencakar langit, menantang angkuh angkasa abu-abu. Kota ini, kota yang menjadi arena penghidupan ratusan ribu bahkan jutaan manusia. Jakarta, aku merantau menapaki tangga ke-sekian untuk memeluk mimpi-mimpiku. Perguruan tinggi yang bahkan dulu untuk bermimpi pun aku tak pernah berani.

Aku adalah anak desa. Sebuah desa kecil d lereng gunung lawu. Anak yang dibesarkan dengan lingkungan yang sederhana. Masa kecilku layaknya anak desa pada umumnya, bermain bola di lapangan dan sawah yang habis dibajak, dikejar kambing, bermain kelereng, dan tak jarang berkelahi dengan anak lain. Bertingkah layaknya jagoan kecil yang tak mengenal kata kalah.

Masih jelas di ingatanku, sore itu. Hujan deras layaknya ditumpahkan dari langit. Masa kecilku sampai dengan usia sekitar 7 tahun kuhabiskan di rumah nenek (dari bapak) yang terletak di sebelah desa yang kutinggali sekarang. Rumah tinggalku sekarang pun adalah rumah nenek (dari ibu). Jaraknya mungkin sekitar tiga kilometer. Rumah itu, desa Widorokandang, rumah dengan dinding kayu jati ukiran dan anyaman bambu itu sudah doyong ke kiri. Lantai tanah yang dipadatkan, selalu menebarkan debu di kala kering, dan aroma tanah basah ketika hujan. Rumah itu menyimpan banyak memori tak terlupakan. Teman-teman lelaki sebayaku berhamburan di depan rumah, meneriakkan namaku untuk turut bergabung. Bocah itu, bocah dengan gigi tak rata itu mengampit bola sepak plastik di ketiaknya. Aku menghambur bersama dua saudara sepupuku, menerjang hujan deras. Tak ada kekhawatiran akan sakit. Tak peduli lelah. Jiwa merdeka. Kuacuhkan teriakan nenek yang melarangku. Kami menerjang hujan, tertawa lepas menikmati rintik demi rintik air yang mengguyur bumi, menuju areal persawahan yang tak terlalu jauh dari kampung kami. Sebentang lahan sawah yang baru selesai dibajak menjadi incaran kami. Sawah itu mulai nampak setelah kami melewati deretan bambu yang menjadi pagar desa. Di kampung, kami biasa menyebut deretan bambu itu dengan sebutan mbarongan.

Pertandingan dimulai. Tanah yang liat dan licin sangat menghambat pergerakan kami. Apalagi tanah itu baru saja dibajak, yang artinya tanah sawah itu sangat gembur dan banyak sisa-sisa bonggol padi yang sengaja dibusukkan disana agar menjadi pupuk alami. Tiap kali kaki melangkah untuk menggiring bola, selalu menancap di tanah becek itu. Mengundang gelak tawa tiap kami terjatuh karena tersandung dan tersungkur. Kami saling menertawakan. Kaus kutang putih yang kini berubah coklat. Hujan deras yang kini berubah rintik. Tak lama berselang, ada suara teriakan lantang dari arah mbarongan. Sang pemlik sawah datang. Kemarahan nampak dari nada suaranya. Bagaimana tidak, sawah yang baru saja dibajaknya kini padat kembali. Diinjak-injak oleh belasan bocah yang menikmati masa kecil. Kami berhamburan, mencari perlindungan masing-masing. Dua sepupuku, yang usianya lebih tua dariku, menggamit tanganku lalu berlari. Kami berlari, menuju sungai yang setengah banjir. Sebagian berlari ke arah jalan besar. Dan sepupuku membasuh badan kami yang serupa kue dicelup coklat. Mencoba menyembunyikan “dosa” yang telah kami perbuat. Meskipun cara itu sukses menemui kegagalan karena noda tanah itu susah hilang di kaus putih kami. Wajah bapak yang sedang marahpun terbayang di benakku.

berlagak kayak preman, sok jagoan. hehehe

berlagak kayak preman, sok jagoan. hehehe

Sekitar satu kilometer arah barat desa nenekku, ada sebuah bendungan air. Kami menyebutnya dam. Selayaknya dam, maka ada genangan air yang cukup dalam disana. Itulah kolam renang masa kecilku. Tak ada pelampung. Yang ada hanyalah bekas ban dalam truk yang ditambal disana sini hingga bentuknya tak rata bulat lagi. Di sekitar dam itu banyak tumbuh rerumputan liar. Karenanya disana banyak penggembala yang menambatkan kambing mereka agar merumput sendiri. Beberapa jam kemudian barulah sang pemlik kembali mengambil kambing-kambing yang sudah kenyang. Aku dan teman-temanku suka menjahili kambing-kambing yang asyik merumput. Kami pukul-pukul kepalanya, kami tendang-tendang, kami lempari batu. Apa saja yang penting judulnya usil. Sebuah tragedi terjadi sore itu. Usai cebur-ceburan di dam, aku dan kawan-kawan mulai menjahili kambing-kambing di sekitar dam. Apesnya, tali kekang seekor kambing bertanduk besar lepas. Dialah sang pejantan dalam kawanan itu. Memendam kemarahan akibat makan sorenya terganggu, ia melonjak. Menyeruduk ke segala arah, ke tempat kami berdiri. Kami berlari kocar kacir. Aku yang paling tak gesit diantara kami, menjadi bulan-bulanan serudukan kambing. Alhasil, aku yang waktu itu masih berumur 6 tahun-an, menangis sejadi-jadinya sambil pulang ke rumah.

Bocah biasa. Impian yang sederhana. Bahkan memeluk jok mobil pun adalah sebuah hal luar biasa. Gaji bapak sebagai guru SMP yang tak lebih dari tiga ratus ribu per bulan bukan merupakan jaminan yang layak untuk masa depan kami. Sepeda motor vespa cokelat, yang baru saja dibeli bapak setelah tukar tambah dengan motor Yamaha RX-Spesial-merahnya, menjadi kendaraan setia yang menemani aku dan bapak ke sekolah tiap hari. Aku di TK, bapak mengajar di SMP. Jaraknya tak lebih dari tiga ratus meter. Kupeluk erat pinggang bapak mengendarai vespa itu, menembus dinginnya udara pagi gunung. Memunggungi fajar di ufuk timur dengan iringan suara berisik mesin vespa. Aku masih belum mengerti arti perjuangan bapak dan ibuk tentangku. Aku hanya benci terus-terusan dibentak agar aku mau belajar. Aku juga tak suka disuruh-suruh ini itu dan menurut sama mereka. Barulah aku sadar arti semua itu ketika beranjak SMA. Dan dari sanalah aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku harus mampu memenuhi harapan yang engkau sematkan padaku. Bahwa aku harus mampu membuatmu bangga.

Menapaki ritme kehidupan yang menggiringku hingga kesini. Terlalu naif jika aku mengatakan bahwa aku bisa sampai ke tahap ini hanya karena usaha maksimalku, karena toh aku sendiri juga tak yakin sudah memberikan usah terbaikku. Tak mungkin aku bisa sampai ke tahap ini jika bukan karena doa bapak dan ibuk, juga dukungan dari teman-teman, serta pencapaian mereka yang selalu memotivasiku untuk bisa berbuat lebih. Prinsipku sederhana, dan mungkin memang sering kuulang dalam tulisan-tulisanku yang lain. Bahwa aku ingin memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang aku lakukan. Ketika diberikan tantangan untuk megerjaan sesuatu, terima saja. Take the challenges, and when something happen on the way then, solve it! Itu prinsip yang  kupelajari dari bapak. Dengan begitu aku bisa belajar lebih banyak, menjadi terbiasa menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. I weren’t on my Father’s level on making decision and solving problems, but I will, someday.

Sejak kecil aku dididik untuk mandiri dan berani mengadapi tantangan. Jangan pernah lari dari masalah, hadapi saja! Lakukan usaha terbaik untuk menyelesaikannya, tentang hasilnya biarkan Allah yang menilai dan memberi. Karena memang tujuan kita adalah memperoleh Ridho-Nya. Jadi nothing to lose jika memang hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Allah membuat kita belajar bukan hanya dari kemenangan, tetapi juga dari kekalahan-kekalahan yang kita terima. Dan aku sudah membuktikannya. Ada banyak sekali ibrah (pelajaran) yang bisa kita ambil ketika kita mampu ber-muhasabbah dan bersyukur atas setiap peristiwa. Bahwa itu adalah sebagian dari skenario Allah untuk kita. Ingat dengan kisah Al-manshur Saifuddin Qalawun? Ketika ia dan ayahnya ditimpa musibah bertubi-tubi, mereka terus berucap, “kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah, kami hanya berprasangka baik pada Allah.”

Saat membaca buku laskar pelangi karya Andrea Hirata dulu, rasanya sangat heroik perjuangan hidupnya, dari cerita masa kecil hingga ia bisa berada di puncak kesuksesan. Tapi saat aku berkaca pada diriku sendiri, ternyata aku tak kalah hebat kok. Aku memiliki laskar fajar-ku sendiri. Aku yang tiap pagi turun gunung, menantang fajar di sela dinginnya udara pegunungan dengan sepeda motor yang tahun produksinya hanya selisih 1 tahun dengan tahun kelahiranku. Aku percaya, bahwa man jadda wajada itu berlaku. Dan sekali lagi aku telah membuktikannya. Begitu pula kata-kata Andrea Hirata di buku Edensor-nya, bermimpilah, maka Tuhan akan akan memeluk mimpi-mimpimu.

About aditya hendriawan

I am Silent architect... View all posts by aditya hendriawan

2 responses to “Cerita Masa Kecil; Mimpi Bocah Desa

Leave a comment